Pages

Ratakan 728x90

Sabtu, 12 Desember 2015

Esensi Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw

Disampakaikan Pada Acara Pengajian Interaktif
Karang Taruna Dusun Pongangan Kaloran Temanggung
Minggu 12 Desember 2015
Oleh : Ma’mun Yusuf Mph.

Michael H. Hart (1978) menempatkan sosok Muhammad saw. pada urutan pertama dalam bukunya Seratus Tokoh yang Paling  Berpengaruh dalam Sejarah. Hal ini saya kira tidak berlebihan, bahkan selaku muslim hal ini wajib. Sebab Allah swt sendiri memuliakan beliau diatas makhluq sekalian alam. Penokohan ini tentunya tidak asal comot tanpa telaah mendalam, melainkan dengan melalui proses analisa historis yang komprehensif dan tentu seobjektif mungkin. Bagaimana mungkin seorang Muhammad yang hidup yatim piatu, berasal dari kelaurga miskin dan seorang pengembala domba, mampu menguasai lebih dari separuh dunia. Ajarannya bahkan masih bergema dan kokoh di setiap jiwa umatnya sampai sekarang. Ini tentu sebuah prestasi sejarah yang tak ada tandingannya.

Bagi umat Islam, pengaruh Nabi Muhammad bukan hanya dalam ranah lahir dengan segala prestasi yang diraihnya. Namun Umat Islam akan lebih menyelami prestasi batiniyah sebagai ruh yang akan memompa gerak tubuh menuju esensi kehidupan yang sejati. Perjalanan spiritual Nabi merupakan perjalanan menjalankan tugas dari Sang Raja diraja Allah swt sang pencipta. Sehingga kehadiran nabi adalah refleksi bimbingan Allah kepada segenap manusia agar mengerti hakikat kehidupan ini.

Sejarah manusia mencatat betapa banyak tokoh hebat yang kehadirannya mampu menjadi titik balik satu perubahan peradaban dalam tatanan masyarakat tertentu. Tokoh itu lalu diidolakan, karena dalam ranah sosiologis, kehadiran sosok idola akan menjadi ukuran dari identitas paling sejati seseorang. Dalam konteks ini, Rasulullah telah mampu menjadi Super Idol yang menjadi figur dan miniatur dari idealisme serta pengentalan jalan hidup yang sejati. Bagaimana pun, tanpa upaya pengidolaan, sistem keyakinan akan kehilangan kendali.

Tradisi Maulid; Antara Ritual dan Keteladanan

Dalam dunia antropologi, manusia sering disebut sebagai homo festivus, yaitu makhluk yang senang mengadakan festival atau perayaan. Sejak zaman purba sampai modern agenda untuk mengadakan festival tidak pernah pudar. Sebuah pesta budaya yang bersifat publik maupun pribadi, yang bahkan sering dikaitkan dengan ritus-ritus keagamaan. Lebih jauh lagi, acara ini biasanya dikaitkan dengan misi keagamaan, yaitu mengenang dan memelihara tradisi setempat, lalu diperkaya dengan elemen-elemen mutakhir. Festival semakin gegap gempita ketika dilakukan secara massif dan menjadi simbol harga diri sebuah bangsa dan agama.

Maka tidak heran jika hampir setiap agama secara fanatik mengadakan serangkaian festival setiap tahunnya baik yang berkaitan dengan politik, budaya mau pun agama. Sejalan dengan hal itu, dalam tradisi Islam, ada budaya perayaan maulid Nabi; sebuah event yang dimanfaatkan untuk "menghidupkan" idola lewat pembacaan kembali lembaran-lembaran sejarah Nabi Muhammad. Dalam dunia Islam, Nabi Muhammad sejatinya adalah super idol bagi setiap generasi Islam sepanjang zaman. Sayangnya, dalam proses gesekan budaya dan rentang waktu yang panjang, keidolaan Nabi terkadang  tereduksi menjadi tokoh non empirik atau sekedar cerita legenda.

Secara doktrinal, tradisi maulid memang  khilaf dalam wilayah benar-tidaknya; sunnah-bid'ahnya. Ini tidak lain karena proses interpretasi / penafsiran terhadap teks-teks keagamaan, tak terkecuali Islam, selalu menghadirkan subyektifitas-individual sang penafsir yang pada gilirannya juga memunculkan bermacam produk penafsirannya.

Tentu hal ini bukan wacana baru dalam tradisi kegamaan mana pun. Perdebatan yang sebenarnya hanya pada level kulit; bentuk dan cara, bukan pada esensi "spiritualitas sejarah" dan "pengahadiran ulang ketokohan" yang diupayakan lewat tradisi tersebut, dengan demikan, sejatinya tidak perlu untuk diperumit panjang lebar, apalagi sampai ada upaya pengkafiran. Dengan logika yang sangat sederhana, kita bisa mengatakan bahwa merayakan maulid Nabi berarti berusaha menghadirkan kembali sosok ketokohan beliau dan memperpendek rentang waktu yang ada.

Esensi Peringatan Maulid Nabi

Sebagai sebuah seremonial, peringatan Maulid Nabi memang baru dilakukan pada pertengahan abad ke-6 Hijriah. Tradisi ini dimulai di Mosul oleh Syaikh Umar bin Muhammad al-Mala, kemudian dikembangkan oleh Muzhaffar al-Din bin Zaynuddin (549-630), penguasa Irbil. Tapi, esensi maulid sebagai penghadiran tokoh sejarah secara praktis sudah sangat mengakar sejak generasi pertama umat Islam. Para shahabat adalah orang-orang yang paling "gemar" menghadirkan sejarah Rasulullah dalam ruang kehidupan mereka, mulai dari urusan rumah tangga sampai masalah politik dan militer.

Kehadiran sejarah Rasulullah menjadi inspirasi paling purna bagi seorang muslim dalam menjalani realitas hidupnya. Shalah al-Din al-Ayyubi, panglima agung muslimin dan teman perjuangan Muzhaffar dalam Perang Salib, menggunakan tradisi pembacaan sejarah Nabi sebagai strategi untuk menggedor motivasi pasukannya. Ada sisi-sisi historisitas Nabi yang memberikan gambaran utuh sebuah jiwa heroik dan ksatria. Maka, al-Ayyubi meletakkan Rasulullah sebagai idola militer tentara melalui tradisi pembacaan sejarahnya.

Upaya al-Ayyubi telah membangkitkan jiwa heroisme kaum muslimin melawan Pasukan Salib  dalam bentuknya paling urgen. Dan, itu mutlak diperlukan sebagai urat nadi dari sebuah perlawanan dan perjuangan. Al-Ayyubi memenangkan Perang Salib, mengusir mereka dari Al-Quds dan daerah-daerah muslimin yang lain,  salah satunya, mungkin berkat pengidolaan sejarah dan motivasi historik yang terus ditanamkan dalam ruang pikiran, jiwa dan pandangan hidup mereka.

Ulasan di atas menunjukkan betapa sejarah dibaca memang untuk melahirkan kembali tokoh di masa lampau. Ini menjadi salah satu elemen filosofis dari displin sejarah itu sendiri. Dalam tradisi maulid kita, hal itu sangat kental. Bahkan, tidak hanya melahirkan tapi juga menyegarkan kembali bahwa hanya ada satu tokoh kunci dan super idol dalam keyakinan kita, yakni Nabi Muhammad saw.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)”

Menciptakan idola dari tokoh sejarah adalah hal yang cukup sulit. Hal ini terjadi karena tokoh sejarah hanya digambarkan dalam bentuk cerita-cerita dan tidak bersentuhan secara langsung dengan realitas yang sedang kita alami. Gambaran dalam sejarah tidak sekongkrit ketika seseorang secara langsung bertemu atau merasakan sendiri bagaimana sepak terjang tokoh itu. Diperlukan penciptaan momen yang tepat agar sejarahnya hadir, menyentuh dan meninggalkan pengaruh semi-empirik terhadap jiwa seseorang.

Di sinilah, peringatan sejarah secara serentak seperti Maulid Nabi menemukan urgensi-relevansinya yang paling substansial. Seseorang lebih mudah mencintai ayah, ibu, saudara atau temannya daripada mencintai Rasulullah, karena ada interaksi langsung dengan mereka. Lebih mudah mengidolakan tokoh yang berada di sekeliling kita daripada mengidolakan tokoh sejarah seperti Rasulullah saw. Kita bisa bersentuhan langsung dengan kiprah dan kepribadian orang-orang yang berada di sekeliling kita. Mereka lebih mudah mengisi ruang pikiran dalam hidup kita daripada tokoh sejarah.

Maka, di tengah kondisi krisis keteladanan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekarang, potret idealitas kehidupan Rasulullah memang patut dibumikan. Dengan demikian, tradisi Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus diperingati setiap tanggal kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial, tapi sebuah momen spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita. Dalam maulid kita tidak sedang merayakan sebuah festival, tapi perenungan dan charging batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara riil tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah kita.

Akhirnya, jika al-Ayyubi menghadirkan Nabi Muhammad di medan perang, maka kita mesti menghadirkan beliau dalam ruang-ruang hidup yang lain. Tidak hanya dalam bentuk cerita-cerita yang mengagumkan, tapi juga semangat keteladanan dalam menjalani realitas kehidupan. Banyak contoh yang perlu kita teladani dari diri rasulullah bahkan dalam segala bidang mulai hal terkecil sampai hal yang besar.

Contoh kongkrit pribadi Rasul

Pribadi Yang Mulia Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia sempurna, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dia-lah Kekasih Allah. Nama Nabi Muhammad SAW selalu ”digandengkan” dengan Nama Allah. Nama Muhammad Saw sendiri sudah ada sejak Nabi Adam diciptakan. Allah sendiri memuji akhlak dan budi pekerti Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman-Nya:”Sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam: 4). Jangankan kita, para sahabat saja tak sanggup melukiskan keindahan akhlak Rasulullah SAW. Apabila mereka ditanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah SAW, mereka hanya bisa menangis. Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi SAW. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu peristiwa yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Ada sebuah hadis Diriwayatkan oleh Ya'kub bin Alfasawy dari Hasan bin Ali ra beliau berkata : "Pernah aku tanyakan kepada pamanku  yang bernama Hindun bin Abi Haala karena dia adalah seorang yang pandai sekali mensifatkan tentang pribadi Rasulullah SAW , dan aku sangat senang sekali mendengarkan sifat Rasulullah SAW untuk aku jadikan bahan ingatan Maka katanya :

 "Keadaan pribadi Rasulullah SAW itu biasanya tampak selalu kelihatan seolah - olah selalu berpikir , tidak pernah mengecap istirahat sedikitpun , tidak berbicara kecuali hanya kalau bila perlu , senantiasa diam , selalu memulai bila sedang berbicara beliau selalu memakai kalimat - kalimat yang banyak artinya ( bijaksana ) , pembicaraannya itu jelas tanpa berlebihan ataupun kurang , lemah lembut budi pekertinya , tidak kasar tetapi bukannya rendah dan mengagungkan nikmat ALLOH SWT walaupun yang sekecil - kecilnya, tidak pernah mencela-NYA sedikitpun dan tidak pula memujinya berlebihan , bila ada orang yang memperkosa kebenaran maka beliau akan marah - marah dengan sangat dan tidak ada seorangpun yang berani menghalangi kemarahannya itu sampai kebenaran menang .

KATA HASAN SELANJUTNYA :  "Kemudian aku tanyakan pada ayahku bagaimanakah keadaan Rasulullah SAW bila diluar . MAKA JAWABNYA : "Rasulullah SAW senantiasa menjaga lidahnya kecuali hanya untuk berbicara seperlunya , bila berbicara senantisa bicara dengan halus ( lemah lembut ) dan tak pernah berbicara dengan kasar terhadap Sahabat dan Ummatnya dan senantiasa memuliakan terhadap orang yang mulia ( berkedudukan ) dan memperingatkan orang jangan sampai ada yang bertindak menyinggung perasaannya dan perbuatannya . Kebiasaannya selalu menanyakan keadaan Sahabat Sahabatnya , dan beliau selalu memuji segala sesuatu yang baik dan membenci segala sesuatu yang buruk . Segala urusannya itu dibuatnya sebaik mungkin . Tak pernah beliau lalai atau malas , demi menjaga jangan sampai mereka melalaikan dan meremehkan . Segala sesuatu dipersiapkan terlebih dahulu , dan tidak akan pernah meremehkan ( mengecilkan ) kebenaran . Orang yang paling terpandang menurut Rasulullah SAW ialah mereka yang baik paling kelakuannya , dan orang yang paling mulia adalah mereka yang paling banyak bernasehat ( memberikan petunjuk ) kepada orang lain , dan orang yang paling tinggi sekali kedudukannya adalah mereka yang selalu ramah tamah dan yang paling banyak tolong menolong .

DAN LAGI KATA HASAN :  "Kemudian aku tanyakan tentang duduknya Rasulullah SAW . DAN JAWABNYA : "Kebiasaan Rasulullah SAW tidak pernah duduk atau berdiri kecuali dengan berdzikir dan tidak pernah menguasai tempat duduk dan melarang seseorang untuk menguasai tempat duduk dan bila beliau sampai pada tempat orang yang sedang berkumpul maka beliau duduk dimana saja ada tempat terluang beliau sampai ditempat itu dan duduk ( Beliau tidak pernah mengusir orang lain dari tempat duduknya )dan beliau juga menyuruh berbuat seperti itu . Beliau selalu menyejukan hati bagi siapa saja yang duduk bersama beliau , sehingga jangan sampai ada orang yang merasa bahwa orang lain dimuliakan oleh beliau lebih dari padanya . Bila ada orang duduk dimajelisnya beliau selalu bersabar sampai orang itu yang bangkit terlebih dahulu dari duduknya ( Beliau tak pernah mengusir teman / sahabatnya yang mnduduki tempatnya ) . Dan bila ada yang minta pada beliau sesuatu hajat maka beliau selalu memenuhi permintaan orang itu atau bila tak dapat memenuhinya beliau selalu berkata kepada orang itu dengan perkataan yang lemah lembut . Semua orang selalu senang dengan budi pekerti beliau sehingga Sahabat dan teman beliau menganggap sebagai anak beliau dalam kebenaran dengan tidak ada perbedaan sedikitpun diantara mereka dalam pandangan beliau . Kemudian Majelis beliau itu adalah tempatnya orang yang ramah tamah , orang sabar dan menjaga amanah dan Majelis beliau itu tidak ada yang berbicara dengan mengeraskan suaranya dan di Majelis beliau itu tidak ada yang mencela orang dan tidak ada orang yang menyiarkan kejelekan atau kejahatan orang lain . Di Majelisnya itu mereka selalu sama rata dan yang dilebihkan ketaqwaannya saja , mereka selalu merendahkan diri ( bertawadhu) sesama mereka yang tua selalu dihormati dan yang muda selalu disayangi , sedangkan orang punya hajat lebih diutamakan ( didahulukan ) dan orang orang asing ( ghorib )selalu dimulyakan dan dijaga perasaannya ."

SEKALI LAGI KATA HASAN : "Maka aku tanyakan tentang keadannya bila beliau sedang berada di tengah tengah Sahabat dan kawan kawannya . DAN JAWABANNYA : "Rasulullah SAW senantiasa periang dan gembira , budi pekertinya baik ( luwes ) dan senantiasa ramah tamah , tidak kasar maupun bengis terhadap seseorang , tidak suka berteriak teriak , tidak suka perbuatan yang keji , tidak suka mencaci dan tidak suka bergurau berlebihan ( olok olokan ) dan selalu melupakan apa yang tidak disukainya dan tidak pernah menolak permintaan seseorang yang meminta.

(1) Beliau tidak mau mencela seseorang atau menjelekkannya dan tidak pernah mencari cari kesalahan orang lain dan tidak akan pernah berbicara kecuali yang baik baik saja ( yang berfaedah ) .
(2) Namun bila beliau sedang berbicara maka pembicaraannya itu akan membuat orang yang ada disisinya menjadi tunduk , seolah olah diatas kepala mereka itu ada burung yang hinggap .
(3) Bila beliau sedang berbicara maka banyak yang diam mendengarkan dan tidak ada yang berani di Majelisnya untuk merusakkan ( memutus pembicaraan beliau ) dan beliau senantiasa ikut tersenyum bila Sahabat Sahabatnya tersenyum ( tertawa ) dan ikut juga takjub ( heran ) bila mereka itu merasa takjub pada sesuatu dan beliau selalu bersabar mengabulkan bila menghadapi seseorang yang baru ( asing ) yang mempunyai hajat dan sering terjadi meminta pertolongan kepada beliau .

DAN BELIAU BERSABDA : "Bila kamu melihat ada orang yang berhajat maka tolonglah orang itu dan beliau tidak mau menerima pujian orang lain kecuali dengan sepantasnya dan beliau tidak pernah memotong pembicaraan orang lain sampai orang itu sendiri yang berhenti dan berdiri meninggalkannya ."

KATA HASAN SELANJUTNYA : Selanjutnya aku tanyakan padanya bagaimanakan pribadi Rasulullah SAW bila berdiam .
JAWABNYA : "Diamnya Rasulullah SAW terbagi dalam empat keadaan :
"DIAM KARENA BERLAKU SANTUN , DIAM KARENA SELAKU BERHATI HATI , DIAM UNTUK MEMPERTIMBANGKAN SESUATU dan DIAM KARENA SEDANG BERPIKIR ."
Adapun pertimbangannya berlaku untuk mempertimbangkan pendapat orang lain serta mendengarkan pembicaraan orang lain dan sedangkan pemikirannya selalu tertuju pada segala sesuatu yang akan kekal dan sesuatu yang akan lenyap ( didunia fana ) . Pribadi Rasulullah SAW senantiasa berlaku santun , sabar dan beliau tidak pernah membuat kemarahan seseorang dan tidak pernah membuat seseorang membencinya ( kecuali orang orang kafir Quraisy ) , dan beliau senantiasa berlaku hati hati dalam segala perkara , selalu suka pada kebaikan dan berbuat sekuat tenaga untuk kepentingan Ummatnya dan demi kebaikan mereka itu supaya baik di Dunia maupun di Akhirat kelak .

HADITS DIATAS PERNAH DIRIWAYATKAN OLEH IMAM TIRMIZY dalam "BAB SYAMAIL" dari sumber HASAN Bin ALI Bin ABI THALIB .R.A . dan Juga dalam HADITS itu disebutkan sumbernya dari saudara kandung Sayidina HUSEIN Bin ALI Bin ABI THALIB . R.A.

HAKEKAT PENCIPTAAN ALAM SEMESTA



Jika kemudian ada pertanyaan , sesungguhnya bagaimana menjalani aturan hidup yang benar agar sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah, sementara para nabi dan rasul telah tiada saat ini? maka jawabanya adalah sebagaimana pesan Rasulullah :

تَرَكْت فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم – رواه مالك
“Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya, yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya sallallahu alaihi wa sallam” (HR. Malik).

Rasul juga mewariskan misi perjuangan kepada generasi penerus beliau, yakni para ulama’ dari masa ke masa. Mereka, para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Rasulullah SAW. bersabda :

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ إنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ أَوْفَرَ – رواه أبو داود والترمذي وابن حبان
”Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia mengambilnya dengan bagian sempurna.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Hibban).

Untuk itu, mari kita memperjuangankan agama Islam ini dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan berpedoman pada Al-Qur’an, Hadist, serta Ijma’ dan Qiyas yang merupakan ijtihad para ulama.

Tujuan diutusnya para nabi

1.Hidayah Tasyri’  Umat Manusia/ Mengajarkan Ilmu dan  Makrifat

Al-Qur’an menyebutkan bahwa pengajaran dan tarbiyah merupakan tujuan dari pengutusan para Nabi dan Rasul As; “Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang tidak mampu kamu ketahui.” Q.S. al-Baqarah [2]: 151.     
Ungkapan: “Dan mengajarkan kamu apa yang tidak mampu kamu ketahui” menyampaikan tentang keberadaan suatu pengetahuan dan hakikat yang tidak terjangkau oleh intelek dan pikiran manusia dengan segala kemajuannya dalam pengetahuan, ilmu, dan teknologi, tapi hakikat-hakikat tersebut hanya dapat diketahui lewat jalan kenabian dan wahyu. Jika tidak ada Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan maka akal dan pikiran manusia yang paling pertama sampai yang paling akhir tidak akan sanggup mengkonsepsi dan mengetahui hakikat samudera tauhid dan maad yang sangat dalam.
Oleh karena itu Allah juga sudah memberi peringatan bagi orang yang mendustakannya:

Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2] : 38-39)

Akal dan pengetahuan manusia, kendatipun setiap saat mengalami kemajuan dan kesempurnaan, namun tetap tidak akan dapat meraih makrifat dan pengetahuan semacam ini dengan sendirinya; hatta akal para nabi ulul azmi atau akal paling tinggi dari mereka, yaitu akal kull (total, semesta) Nabi Muhammad bin Abdullah Saw. Berpijak pada masalah ini maka Allah Swt menyatakan matlab tersebut kepada beliau Saw:
“…Allah telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar”. Q.S. an-Nisa [4] : 113.

Oleh karena itu, sekiranya bukan karena karunia dan inayah Allah Swt kepada Nabi-Nya maka beliau Saw tidak akan mampu memperoleh makrifat dari sebagian masalah-masalah gaib dan metafisika.
Di tempat lain dari al-Qur’an, Tuhan berbicara kepadanya dengan firman-Nya:
 “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus”. Q.S. asy-Syûrâ [42] : 52.

2. Menyempurnakan Akal dan Intelektual                                      

Menyempurnakan rasionalitas dan intelektualitas masyarakat adalah salah satu dari tujuan yang paling urgen dari tarbiyah dan pengajaran para nabi As: “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Q.S. Ali Imran [3] : 164

Tuhan tidak mengutus seorang nabi dan tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk menyempurnakan akal dan intelek (umat manusia), dan akal dia (nabi dan rasul) adalah lebih tinggi dari seluruh akal umatnya. Oleh karenanya wajib hukumnya seorang nabi memiliki sifat Fathanah (cerdas).

3. Menyelamatkan Manusia dari Kegelapan

Di antara tujuan bi’tsah kenabian lainnya adalah melepaskan dan menganggkat manusia dari jurang kegelapan menuju lembah cahaya, Tuhan berfirman: “…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.” Q.S. Ibrahim [14] : 1.

Kebodohan Iman, ilmu dan amal, ketiganya adalah kegelapan; orang jahil yang durjana dan orang alim yang tidak beramal shalih, keduanya terperangkap dalam kegelapan. Tanpa mendapat petunjuk dalil ilmu dan bukti amal adalah bentuk ketersesatan. Satu-satunya jalan keselamatan dan pelita cahaya adalah hidayah dari wahyu Allah kepada para nabi, dimana ia akan menghantarkan manusia dari istana ego dan nafsu menuju taklif dan penghambaan pada Tuhan dan menerangi hati-hati gelap serta menuntun orang-orang sesat kepada para penapak jalan cahaya. 

4. Menyembah Tuhan dan Menjauhi Thaghut

Ini merupakan pokok bi’tsah kenabian. Yaitu seruan dan ajakan kepada manusia untuk menyembah Tuhan Yang Tunggal dan menjauhi Taghut beserta menifestasi-manifestasinya, di dalam al-Qur’an kita membaca: “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut”, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” Q.S. an-Nahl [16] : 36.
Fitrah manusia salah satunya adalah kecenderungan hati menghamba kepada Sang Maha kuasa sebagai tempat peraduan dari segala ketidak berdayaanya. Tanpa petunjuk dari para Nabi tentu akan banyak penyimpangan dalam praktek penyandaran diri kepada Sang Maha Kuasa. Sehingga banyak kita saksikan penyembahan-penyembahan kepada selain Allah sebagai manifestasi pelarian manusia.

5. Menghakimi dan Memutuskan Perselisihan Masyarakat    

Menghakimi dan menghilangkan perselisihan di antara masyarakat, juga menjadi salah satu dari tujuan diutusnya (bi’tsah) para nabi As, firman Tuhan:

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. Q.S. al-Baqarah [2] : 213.

6. Membebaskan Manusia, mengatur cara hidup

Hal yang terbaik dihadiahkan para nabi kepada umat manusia adalah penyebaran kebebasan dan kemerdekaan, yakni kebebasan dari sistem-sistem destruktif yang merusak jiwa-jiwa individual dan tatanan sosial maknawi. Al-Qur’an mengungkapkan tentang pemberian kebebasan dengan bahasanya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang beruntung.” Q.S. al-A’raf [7] : 157.

7.    Menyempurnakan Hujjah (argumentasi)

Salah satu hasil dari hidayah tasyri’i, adalah penyempurnaan hujjah. Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas:
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa’ [4] : 165)

Di ayat lainnya, dengan menjadikan para Ahli Kitab sebagai lawan bicaranya, Allah SWT. berfirman:
Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Maa’idah [5] : 19)
Bagaimanapun juga, ayat di atas menjelaskan bahwa para nabi diutus supaya jangan sampai para pengingkar bisa mencari-cari alasan ketika menghadapi hisab dihari qiyamat,  seperti ungkapan “karena seorang nabi tidak diutus kepada kami, dan karena ajaran nabi-nabi terdahulu telah terselewengkan, sesatlah kami” atau “karena sebelumnya telah dijanjikan tentang kedatangan seorang nabi namun ia tidak datang, oleh karenanya kami menjadi ragu dan berdua-hati.” Sikap para pembangkang ini sudah disinggung oleh Allah dalam firmannya :

Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaahaa [20] : 134)

Ayat tersebut menerangkan bahwa jika seandainya Allah SWT. menurunkan azab siksaan kepada umat manusia sebelum diturunkan seorang nabi untuk mengingatkan mereka, bisa jadi mereka berdalih bahwa mereka tidak tahu mana jalan yang benar dan Tuhan sendiri tidak menurunkan seorang pembimbing kepada mereka agar menunjukkan jalan yang benar serta mengeluarkan mereka dari lingkaran kelalaian. Jadi, salah satu tujuan pengutusan para nabi, adalah menutup kemungkinan bagi manusia untuk mencari-cari alasan.

8. Menyelesaikan Ikhtilaf-Ikhtilaf Keagamaan

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah [2] : 213)

Dalam ayat di atas, disebutkan: “Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab”; menjadi bukti bahwa di antara mereka ada orang-orang yang secara sengaja menyelewengkan dan melakukan perubahan dalam kitab suci. Selain ikhtilaf-ikhtilaf yang sudah ada di tengah-tengah umat manusia masa itu, mereka dengan sengaja menciptakan ikhtilaf-ikhtilaf lainnya.

“karena dengki antara mereka sendiri” menunjukkan bahwa mereka menciptakan ikhtilaf-ikhtilaf karena kepentingan duniawi dan kezaliman diri mereka. Lalu Allah SWT. berfirman: “Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya.”

Tuhan memberikan petunjuk ini melalui para nabi, para imam, dan orang-orang alim di antara hamba-hamba-Nya yang beragama benar: “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”

9. Ancaman dan Kabar Gembira

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.“(An-Nisaa’ : 165)
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (Thahaa 20:124)

“Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka jahannam. Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya” (Al-Isra’ 17:97)


Dan masih banyak lagi tujuan dari pada Kenabian dan Rasul


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

1 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
Posts RSSComments RSSBack to top
© 2011 Bengkel Pikiran ∙ Designed by BlogThietKe
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0