MAQOM MAHMUD
Dalam syair-syair Maulid yang
dikarang oleh para ulama, sering sekali dimulai atau dikutip ayat mulia, yang
menggambarkan kedatangan Rasul Mulia SAW, adalah ayat berikut:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.(QS At-Taubah 128)
Berdasarkan Sirah (sejarah) yang
paling dikenal, pada hari-hari ini bulan ini, lebih dari 14 abad silam, seorang
Insan terbaik terlahir. Seluruh alam bersuka cita menyambut makhluk terbaik
ini… Nabi dan Rasul terbaik, Muhammad SAW.
Rasul mulia yang dipuji langsung
oleh Allah SWT sendiri dengan berbagai kebaikan, seperti Nur (sang
cahaya), uswatun hasanah, la’ala khuluqin adziem (memiliki akhlaq
yang agung), rahmatan lil alamin,rauf-rahim, dll. Di antara
kemulian yang disebut adalah maqaman mahmudah (kedudukan yang terpuji),
sebagaimana ayat tentang tahajud:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ
نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari
bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu:
mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (al- isra’ [17]:
79)
Ketinggian maqam Muhammad tentu
bukan hal yang mudah untuk diketahui. Bahkan hampir-hampir mustahil. Namun
dengan melihat hadis berikut mungkin saja bisa mengantar kita untuk sedikit
mengetahui siapa itu Muhammad lewat lisannya sendiri.
Daam Kajian Tasawuf ada sebuah
Riwayat Hadist, bahwa Nabi SAW bersabda:
انا احمد بلا ميم انا عرب بلا عين
“Aku adalah Ahmad tanpa mim, dan
Aku adalah Arab tanpa ain”.
Ahmad tanpa mim (m) akan berarti
ahad (Esa), yang merupakan sifat Allah yang sangat unik. Mim yang merupakan
simbol personafikasi dan manifestasi Allah dalam diri Muhammad pada hakekatnya
adalah bayangan Ahad yang ada di alam semesta. Mim adalah wasilah antara
makhluk dengan Khaliqnya. Mim adalah jembatan yang menghubungkan para Kekasih
Allah dengan Sang Kekasihnya yang mutlak.
Dengan kata lain Muhammad adalah
mediator antara makhluk dengan Allah SWT. Dialah mazhar al-Haq atau tempat
kebenaran dan realitas Allah menampak di dunia ini. Dialah “Zahirnya Allah di
tengah makhluk-makhluk-Nya. Dialah aktivitas Allah yang dapat dilihat manusia
dengan matanya, karena Allah SWT sendiri tak dapat dilihat . Iqbal berkata,
Duhai Rasul Allah Dengan Allah aku berbicara melalui tabirmu Denganmu tidak,
Dialah Batinku, Dikaulah Zahirku.
Menurut Iqbal, Muhammad
benar-benar berfungsi “mim” yang “membumikan” Allah dalam kehidupan manusia.
Dialah “Zahir”nya Allah; dialah Syafi'(yang memberikan syafaat, pertolongan dan
rekomendasi) antara makhluk dengan Tuhannya. Ketika anda ingin merasakan
kehadiran Allah dalam diri anda, hadirkan Muhammad. Ketika anda ingin disapa
oleh Allah, sapalah Muhammad. Ketika anda ingin dicintai Allah, cintailah
Muhammad. Qul inkuntum tuhibbunallah fat tabi’uni yuhbibkumullah, “Apabila
kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah akan cinta
kepada kalian.” Kepada orang seperti inilah kita diwajibkan cinta, berkorban
dan bermohon untuk selalu bersamanya, di dunia dan akhirat. Sebab seperti kata
Nabi, “Setiap orang akan senantiasa bersama orang yang dicintainya.”
MARTABAT WAHDAH
Dalam susunan Martabat Tujuh
kedudukan Nabi Muhammad adalam masuk dimensi Martabat Wahdah. Pada martabat wahdah,
lahir segala sifat dan asma secara ijmal atau terhimpun utuh. Martabat
ini disebut sebagai hakikat Muhammad dan menjadi asal dari segala yang hidup
dan maujud.
Muhammad dipahami sebagai hawiyatul
‘alam atau hakikat alam dan segala sesuatu sebagaimana hadis yang bersumber
dari Jabir ra.
“Awal mula yang dijadikan Allah
Ta’ala itu adalah cahaya Nabimu hai Jabir. Kemudian dijadikan dari padanya
segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu dari sesuatu itu.”
Hadis lain menerangkan,
“Aku dari Allah dan segala mukmin
itu dariku.”
Ada pula hadis yang menjelaskan,
“Bahwasanya Allah Ta’ala telah
menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan sekalian alam dari
nur Muhammad.”
Sebuah riwayat Abdur Razaq ra.
yang berasal dari Sayyidina Jabir ra. menyatakan,
“Jabir datang kepada Rasulullah
SAW dengan pertanyaan: ‘Ya Rasulullah, khabari aku tentang awal mula suatu yang
dijadikan Allah Ta’ala.’ Maka kata nabi, ‘Hai Jabir, bahwasanya Allah Ta’ala
telah menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu itu Nur Nabimu yang telah
tercipta dari Zat-Nya.’”
Pemahaman tentang Nur Muhammad
berasal dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian antara cahaya
matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya bukanlah matahari
dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan sifat masing-masing.
Tapi dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri matahari, karena tak
akan ada cahaya tanpa matahari dan sebaliknya tak akan disebut matahari tanpa
mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya adalah diri matahari itu
sendiri, dan tidak lain.
Memahami nur sebagai diri
Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah, melainkan harus kepada
esensi sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai sumber cahaya langit
dan bumi,
“Allah Pemberi cahaya kepada
langit dan bumi.”
(An Nur: 35).
Sumber : https://www.facebook.com/notes/cahaya-gusti/
0 komentar