Dzikir secara bahasa adalah “Ingat”, adapun pengertian secara husus adalah “mengingat Allah dengan menyebut asma-asma Allah yang agung dalam berbagai kesempatan”. Sedangkan dalam arti luas, dzikir mencakup pengertian “mengingat segala keagungan dan kasih sayang Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, sambil mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya”. Menurut al-Ashfahani, dzikir adalah menghadirkan sesuatu baik dalam bentuk perasaan (hati) maupun perbuatan.
Dari pengertian yang terahir ini, menurut saya bahwa zikir adalah upaya membangun kesadaran diri atas segala hal yang terjadi dan segala kejadian yang semuanya adalah kehendak Allah. Serta menyadari dan membangun kesadaran untuk menempatkan diri sesuai apa yang terjadi.
Menurut Imam Al-Thabathaba’i ada dua makna yang terkandung dalam kata dzikir:
Pertama, kegiatan psikologis yang memungkinkan seseorang memelihara makna sesuatu yang diyakini berdasarkan pengetahuannya atau ia berusaha hadir padanya (istikdhar).
Kedua, hadirnya sesuatu pada hati dan ucapan seseorang.
Dzikir dalam hati disebut dzikir qalb, sedang dalam ucapan disebut dengan dzikir lisan.“Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kedamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku. (QS.al-Baqarah:125)
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (QS.Thaha:124).
Menurut al-Thabathaba’i, maksud kehidupan sempit dalam ayat tersebut adalah :
- Kehidupan dunia, yaitu kehidupan seseorang yang hatinya diliputi rasa keresahan, kesedihan, kegoncangan, dan ketakukan disebabkan adanya kejadian-kejadian yang menimpa seperti sakit, irihati dan kematian.
- Kehidupan setelah mati, yaitu adanya siksa kubur yang mencelakakan di alam barzah.
- Kehidupan di akhirat, yaitu adanya siksa sebelum masuk neraka disebabkan hatinya buta.
Dzikir dapat mengembalikan kesadaran seseorang yang hilang, sebab aktivitas dzikir mendorong seseorang untuk mengingat, menyebut kembali hal-hal yang tersembunyi dalam hatinya. Dzikir juga mampu mengingatkan seseorang bahwa yang membuat dan menyembuhkan penyakit hanyalah Allah SWT semata, sehingga dzikir mampu memberi sugesti penyembuhannya. Karena itulah maka Allah SWT menyerukan kepada hamba-Nya agar bertanya kepada orang-orang ahl dzikr jika tidak mengetahui penyakit dan cara penyembuhannya (QS.al-Nahl:43).
Melakukan dzikir sama nilainya dengam terapi rileksasi (relaxation therapy), yaitu satu bentuk therapy dengan menekankan upaya mengantarkan pasien bagaimana cara ia harus beristirahat dan bersantai-santai melalui pengurangan ketegangan atau tekanan psikologis.
Banyak dari kalangan psikolog-sufistik memiliki ketenangan dan kedamaian jiwa yang luar biasa. Hidup bagi mereka terasa tanpa beban, bahkan dengan misibahpun mereka dapat menikmatinya. Kunci utama kedaan jiwa mereka itu adalah karena melakukan dzikir. Firman Allah SWT:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS.al-Ra’d:28).
Cara berdzikir dibagi menjadi dua macam;
Pertama, dzikir jahar, yaitu dzikir yang dikeraskan, baik melalui suara maupun gerakan. Dzikir ini dilakukan dalam waktu, jumlah, dan cara tertentu. Fungsi dzikir ini adalah untuk menormalisasi kembali fungsi system jaringan syaraf, sel-sel dan semua organ-organ tubuh. Bagi aliran psiko-sufistik tertentu ada yang memiliki cara berdzikir sendiri, yang menurutnya, cara-cara yang dikembangkan itu miliki rahasia (asrar) tersembunyi.
Apabila cara-cara itu dilakukan maka dapat menyembuhkan jenis penyakit tertentu pula. Misalnya dalam Tarekat Naqsyabandiyah terdapat gerakan ujung lidah yang ditempelkan pada langit-langit mulut sambil membaca lafal Allah sebanyak 1000 kali secara sirri (dibaca dalam hati). Atau dalam Tarekat Qadhariyah terdapat gerakan untuk mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Ketika mengucapkan la ilaha (tiada Tuhan) pandangan mata dipusatkan ke qalbu didalam dada, lalu seakan-akan kalimat la ilaha yang berada didalam qalbu itu dibuang dengan menengok keatas, kemudian diteruskan dengan mengucapkan illallah (kecuali Allah) dengan kepala menghadap keatas, lalu seakan-akan kalimah illallah yang berada diluar dimasukkan kedalam qalbu. Gerakan-gerakan semacam itu dilakukan dengan penuh semangat dan berulang-ulang, sehingga mampu mengaktifkan optimalisasi fungsi organ tubuh.
Kedua, dzikir sir yang diucapkan dalam hati, model dzikir yang kedua ini memiliki banyak macamnya. Dalam psiko-sufistik, terdapat konsep lataif yang dikembangkan sebagai metode berdzikir dalam hati. Lataif adalah esensi yang lembut dan halus yang terdapat dalam qalbu manusia. Agar ia tetap dalam fitrah asalnya (suci dam bersih) maka diperlukan pemeliharaan melalui dzikir dan perjuangan spiritual (mujahadah). Pengembangan konsep lataif dalam psiko-sufistik ini sama halnya dengan psikologi fisiologis (pyisiological psychologi), yaitu cabang psikologi yang meminati interrelasi dari system syarat, resepton, kelenjar endokrin, proses tingkah laku, dan proses mental.
Menurut psiko-sufistik ini, manusia memeliki jizim halus(aspek psikis). Mereka membaginya dalam tujuh tingkatan, yaitu;
1. Latifah al-qalb, yaitu jizim halus yang berhubungan dengan jantung. Letaknya dua jari dibawah susu kiri. Disinilah letak keimanan, keislaman, dan keihsanan serta letak ke musyrikan, kekafiran, ketakhayulan dan sifat-sifat iblis.
Untuk mensucikan perlu 5.000 kali membaca lafal”Allah”.
2. Latifah al-rub, yaitu jizim halus yang berhubungan dengan rabu jasmani. Letaknya di bawah jari di susu kanan. Disini letak sifat-sifat binatang jinak (bahimiyah), seperti nafsu-nafsu impulsive, erotik, dan sebagainya. Untuk mensucikannya perlu 1.000 kali membaca lafal”Allah”.
3. Latifah al-sir, yaitu jizim halus yang letaknya di atas susu kiri. Di sinilah tempat sifat binatang buas (subu’iyah), seperti sifat zalim, aniaya, pendendam dan pemarah. Untuk mensucikannya perlu 1.000 kali membaca lafal”Allah”.
4. Latifah al-khafiy, yaitu jizim halus yang letaknya di atas susu kanan dan di kendarai limpah jasmani. Disinilah tempat sifat dengki, khianat dan sifat saithaniah lainnya. Untuk mensucikannya perlu1.000 kali membaca lafal”Allah”.
5. Latifah al-akhfa, yaitu jizim halus yang letaknya di tengah dada yang berhubungan dengan empedu jasmani. Disinilah letak sifat-sifat rabbaniah seperti pamer, sombong, angkuh, dan sebagainya. Untuk mensucikannya perlu 1.000 kali membaca lafal ”Allah”.
6. Latifah al-nafs al-nathiqah, yaitu jisim halus yang terletak diantara dua kening. Disinilah letak nafsu amarah yang mendorong perbuatan jahat, banyak khayal, dan panjang angan-angan. Untuk mensucikannya perlu 1.000 kali membaca lafal “Allah”.
7. Latifah kull al-jasad, yaitu jisim halus yang mengendarai seluruh tubuh jasmani. Disinilah letak sifat jahil dan lupa. Untuk mensucikannya perlu 1.000 kali membaca lafal “Allah”.
Sebagai kesimpulan, terapi diatas adalah terapi dengan do’a dan munajat. Do’a adalah harapan dan permohonan kepada Allah SWT agar segala gangguan dan penyakit jiwa yang dideritanya hilang. Allah SWT yang membuat penyakit dan Dia pula yang memberikan kesembuhan (QS.al-Syuara:80).
Do’a dan munajah banyak didapat dalam setiap ibadah, baik dalam shalat, puasa, haji, maupun dalam beraktifitas sehari-hari.Agar do’a diterima diperlukan syarat-syarat khusus. Diantaranya adalah membaca istighfar terlebih dahulu. Istighfar tidak hanya berarti memohon ampunan kepada Allah dengan membaca astaghfirullah (aku memohon ampunan kepada Allah), tetapi lebih esensial lagi, memiliki makna taubat. Taubat adalah kembali dan menyesali serta berjanji tidak melakukan perbuatan maksiat dan dosa lagi.
Berdasarkan pengertian tersebut, taubat sebenarnya menjadi prinsip dan prasarat bagi penyembuhan penyakit, baik penyakit fisik maupun psikis. Artinya, untuk menuju kondisi sehat, seseorang harus kembali (taba) pada fitrah asal dan berusaha tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti penyakit Aids disebabkan free-sex, kecanduan narkoba, psikomatik disebabkan iri hati,dengki, sombong, dan riya’. Jika pasien yang telah sehat dengan menggunakan prinsip “taubat”, maka jangan coba-coba untuk mengulangi lagi, sebab hal itu akan mengakibatkan penyakit yang sulit disembuhkan. Sabda Nabi SAW:
“bukankah aku telah mengajarimu tentang apa yang disebut obat (psikoterapi) dan penyakit (psikopatologi). Mereka menjawab; ‘tentu ya Rasulullah’ beliau mengatakan: ‘penyakit itu adalah dosa, sedang obatnya adalah bertaubat’.
Dosa adalah sesuatu yang mendebarkan jiwa dan orang lain memandang hina terhadapnya (HR. Muslim dari Sim’an al-anshari).
Orang yang melakukan perbuatan maksiat dan dosa maka jiwanya resah dan selalu dibayangi oleh perbuatan buruknya sendiri. Satu-satunya cara adalah dengan bertaubat, sebab ia dapat membersihkan dan menjadi terapi bagi jiwa yang sakit. Taubat yang sesungguhnya disebut dengan taubat nasuha yaitu berteguh hati unutk tidak mengulangi perilaku yang buruk, walaupun dalam dunia tidak sadar (mimpi).
Imam al-Sya’rani secara khusus mentukan taubat nasuha dengan “kesadaran jiwa yang sesungguhnya dan ia tidak merasakan kenikmatan lagi jika berfikir melakukan perbuatan dosa, walaupun didalam dunia bawah sadar (alam mimpi). Jika seseorag dalam mimpinya masih merasakan kenikmatan berbuat dosa maka hal itu sebagai pertanda taubatnya belum nasuha. Barang kali yang unik dalam psikoterapi islam adalah bahwa keberadaannya sangat subjektif dan teosentris.
Dalam melakukan terapi, masing-masing individu memiliki tingkat kualitas yang berbeda seiring pengetahuan, pengalaman, dan pengamalan yang dimiliki. Meskipun masing-masing individu telah menempuh cara-cara psikoterapi yang sama, boleh jadi memperoleh pengalaman psikologis yang berbeda. Tentunya ha itu mempengaruhi tingkat kemujaraban terapi yang diberikan. Perbedaan itu dapat dipahami, sebab dalam Islam mempercayai adanya anugrah dan kekuatan agung diluar kekuatan manusia,yaitu Tuhan.
Wallahu a’lamu bisshowab
0 komentar