Orang yang ingin mencapai Tuhan harus menghindarkan diri dari riya'. "Riya adalah racun yang mematikan dan melebur pahala", kata Ibrahim Al- Matbuli. Riya mensiasiakan pahala amal dan mematikan hati).
Termasuk tanda-tanda riya, adalah menganggap enak dalam melakukan ibadah. Ini bertentangan dengan watak asli manusia. Manusia, pada umumnya, tidak akan menganggap enak dalam melakukan ibadah, kecuali bila perbuatan tersebut sesuai dengan seleranya. Bila tidak, pelaksanaan ibadah akan terasa sangat berat.
Termasuk riya' adalah melakukan amal untuk Allah tapi masih dibarengi dengan tujuan-tujuan lain. Abdul Qodir Ad- Dasthuthi, "Murnikan tujuan amalmu hanya kepada Allah). Jangan sepelekan masalah ini dengan membaurkannya bersama hasrat-hasrat nafsumu. Bila tidak, amal ibadahmu akan rusak".
Pendorong amal perbuatan manusia biasanya ada dua; kepentingan dunia dan akherat. Ini sesungguhnya juga termasuk jalan menuju riya yang sangat sulit dihindarikan. Bila kepentingan akherat mengalahkan kepentingan duniawi, berarti amalnya masih bercampur dengan riya. Namun, sebagian ulama menyatakan, kepentingan akherat yang mengalahkan kepentingan duniawi masih sama artinya pekerjaan yang melulu didorong oleh kepentingan duniawi. Artinya, amal tersebut tidak termaafkan; tidak diterima.
Contoh perbuatan yang didorong kepentingan ukhrowi dan duniawi. Misalnya, seseorang punya kepentingan dengan pembesar. Kebetulan pembesar tersebut melakukan sholat jamaah di suatu masjid pada barisan terdepan. Orang itupun melakukan jamaah di masjid yang sama dan pada barisan terdepan. Niatnya, selain untuk memenuhi kewajiban, juga agar kepentingannya dengan pembesar tersebut bisa tercapai.
Jelas, niat ibadahnya bukan sedekar untuk Tuhan; masih ada tujuantujuan lain. Bahkan tujuan lain yang bersifat duniawi justru tampak lebih dominan. Karena itu, para ulama menyatakan, mentauhidkan niat adalah wajib, agar manusia tidak terpengaruh; bisa menyatukan pikiran dan hatinya hanya untuk berhubungan kepada Tuhan.
Contoh lain, orang yang melakukan ibadah agar bisa dekat kepada Tuhan. Ini seperti melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk mencari upah. Ini juga termasuk riya yang sangat halus. Sedemikian, sehingga para ulama menyatakan, penyakit ibadah ini sangat sulit dirasakan. Terkadang ada orang yang telah melakukan ibadah demikian lama dan mencapai kedudukan di sisi Tuhan. Akan tetapi, kemudian ditolak, "Kembalilah! Kamu bukan termasuk ahli ibadah". Sesungguhnya, ibadah yang benar adalah melakukan amal perbuatan semata-mata hanya untuk memenuhi perintah dan hak-hak Allah swt.
Contoh lain dari riya adalah orang yang mengaku punya kedudukan tertentu disisi Tuhan, padahal ia sebenarnya belum mencapai derajat itu. Atau, telah mencapai derajat yang dikatakan namun belum boleh diberitaukan. Pengakuan ini akan mendatangkan siksaan dan menghalangi orang tersebut dari kedudukan yang diklaimnya. Selamanya, ia tidak akan bisa mencapai derajat yang dikatakan.
Yang lain lagi adalah merasa senang bila amalnya bisa dilihat orang. Perasaan ini adalah penyakit yang sangat berbahaya.
Menurut Abu Hasan As- Syadzili, amal yang disertai perasaan senang seperti ini tidak bisa menambah kedudukannya disisi Tuhan, melainkan justru mendatangkan murka dan semakin menjauhkan dari-Nya. Persoalan ini jarang disadari dan dimengerti oleh manusia. Karena itu, para ulama mewajibkan seseorang untuk senantiasa merahasiakan amal perbuatan baiknya, sehingga ia kuat dan siap untuk melakukan perbuatan dengan ikhlas.
Terkadang memang ada seseorang yang melakukan perbuatan tertentu sehingga dia dipuji masyarakat; dan dia tidak menghendaki pujian itu. Dengan itu, ia mengira bahwa dirinya sudah termasuk orang yang ihlas. Maka, hal inipun termasuk juga riya'.
Atau, ada orang yang menolak pemberian demi menjaga kehormatan dirinya. Dia kemudian dipuji masyarakat. Ia sendiri tidak menghendaki pujian itu, tetapi kemudian memperhatikannya. Maka perbuatan inipun kembali kepada riya', walau pada asalnya tidak ada maksud demikian.
Contoh model riya lain yang samar adalah meninggalkan amal ibadah karena manusia. Fudail ibn Iyadh berkata; “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan melakukan amal karena manusia adalah syirik. Apa yang dinamakan ihlas adalah kamu menjaga dari keduanya".
Maksudnya, orang yang hendak melakukan ibadah kemudian diurungkan karena khawatir --pujian-- manusia, maka itu termasuk riya. Sebab, ia berarti telah meninggalkan sesuatu karena manusia; bukan karena Allah. Akan tetapi, bila meninggalkan ibadah tersebut untuk kemudian melakukannya di tempat yang sepi --agar tidak diketahui orang-- maka itu adalah lebih baik.
Namun, untuk ibadah ibadah wajib, atau bila orang yang bersangkutan termasuk pembesar atau pemuka masyarakat yang selalu diikuti, maka hal itu lebih baik dilakukan secara terangterangan.
Contoh lain dari riya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan dimasa lalu, tanpa ada maksudmaksud tertentu yang bisa dibenarkan menurut agama. Sesungguhnya, mengungkap kembali kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukandimasa lalu tanpa ada tujuan yang bisa dibenarkan, bisa merubah amal tersebut dalam bentuk riya.
Ali al-Khowash menyatakan, jangan sampai seseorang mengungkit-ungkit kembali atau menceritakan amal baik yang pernah dilakukan. Sebab, hal itu sama artinya dengan riya. Ia bisa melebur pahala amalnya yang telah lalu. Namun, kesalahan ini bisa dipulihkan; dengan taubat. Bila seseorang bertaubat dengan benar dan sungguhsungguh, maka amal yang telah dilakukan akan kembali menjadi amal yang sah, dengan kehendak Allah. Termasuk bentuk riya lain yang amat samar adalah menghentikan senda gurau yang diperbolehkan agama, karena munculnya orang yang disegani.
Fudail ibn Iyadh berkata, "Seandainya dikabarkan padaku bahwa seorang pemimpin tinggi akan datang, kemudian aku merapikan rambut dan jenggotku, sungguh aku takut bahwa hal itu akan menyebabkan aku ditulis sebagai orang yang munafiq".
Karena itu, hendaknya seseorang tidak menghentikan senda-guraunya yang diperbolehkan agama hanya karena masuknya orang yang disegani, kecuali dengan niat baik. Sesungguhnya, terbukanya rahasia seseorang ditangan pemimpin atau orang yang disegani adalah lebih baik daripada berlaku munafiq.
Yang termasuk riya halus yang lain lagi, adalah menundukkan kepala dan berlaku khusyuk karena munculnya seseorang. Ali Al-Khowash berkata, "Bila seorang pemimpin datang dan kalian sedang bertasbih, maka jangan kamu teruskan bacaan tasbihmu kecuali dengan niat baik. Hati-hatilah, jangan bersendagurau melupakan Allah, tetapi buru-buru membaca tasbih begitu seseorang yang disegani muncul. Tanpa didasari niat baik, maka perbuatan seperti itu justru akan menghancurkan semua amal perbuatan".
bersambung.........
0 komentar